Ketua IKAT prihatin para perajin pakaian adat dari kulit kayu tidak dilestarikan

the craftsmen of traditional clothes made of bark

Melestarikan tradisi dan budaya kini menjadi tantangan tersendiri terutama di jaman serba modern dan serba digital saat ini.

Dengan menelusuri Kecamatan Rampi, Jurnalis media ini bersama Ketua Ikatan Keluarga Toraja (IKAT) Luwu Utara, Ir. Marthina Simon berkunjung ke pembuat pengrajin kulit kayu, untuk tukar pikiran, baik secara adat maupun Lembaga Kesenian dan pengrajin Rampi yang belum terstruktur kelompoknya.

Kalau melihat secara langsung di Desa Onondowa Kecamatan Rampi, para generasi muda tak tertarik menekuni kerajinan ini lantaran harga kain kulit kayu murah, sementara, jumlah pengrajinnya kini terus berkurang karena banyak yang sudah berusia tua bahkan ada yang sudah meninggal.

Kain ini biasanya dipakai untuk baju sehari-hari, pernikahan hingga upacara adat dan pesta-pesta lainnya.

Kerjasama ini Marthina Simon bertemu Ibu Herlina Shinta dan para tua-tua adat (Tokey Bola’) Dari situ, Ketua IKAT Lutra mulai prihatin melihat dan akan kepunahan pengrajin baju, celana, topi, selendang, ikat kepala dari kulit kayu ini.

Ibu Shinta panggilan akrabnya mewanti-wanti akan kepunahan pengrajin kulit kayu, sehingga pandangan dan motivasi yang diberikan Ketua IKAT Lutra untuk membangun kelompok pengrajin yang berada di Desa Onondowa sangat diapresiasi.

“Herlina Shina mengkhawatirkan pengrajin Kulit kayu di kampung kami bisa punah, karena belum ada generasi to Rampi yang bisa melanjutkan yang saya tekuni peninggalan dari nenek moyang kami,” tuturnya pada jurnalis www.ewara.co belum lama ini.

Tak berhenti hanya merangkul pengrajin, Marthina juga akan mempromosikan sejumlah produk dari kain kulit kayu, sehingga nilainya bertambah dengan mengajarkan untuk berkelompok dengan membuat kelompok Lembaga Adat Kesenian dan pengrajin yang terstruktur nantinya.

“Hal ini dikatakan Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Lutra pada media ini, Kamis (21/5/20) bahwa, membuat kain dari kulit kayu beringin bukanlah mata pencaharian utama, jadi produksinya masih sangat terbatas,” terangnya.

Sementara Herlina Shinta yang masih menekuni pembuatan kain kulit kayu beringin menjelaskan bahwa, proses produksi dari bahan setengah jadi menjadi barang siap pakai pun masih dilakukan secara tradisional.

Bahkan, pewarnaan menggunakan bahan baku alam yang berasal dari berbagai jenis tanaman, misalnya indigo, turi, mengkudu, dan daun mangga. Herlina Shinta hanya dibantu oleh suami dan anak-anaknya bila datang lagi di Desa Onondowa, dan berharap Pemerintah Kabupaten Luwu Utara bisa membantu pendirian pondok Sekretariat untuk tempat membuat tenunan dari kulit kayu.

Supaya kedepannya, Herlina Shinta berharap dapat terus melestarikan dan menarik anak muda untuk menjadi pengrajin kain kulit kayu lainnya, dia juga ingin membangun koperasi dan galeri untuk mereka agar dapat memamerkan produknya, serta mendapatkan suntikan modal. Supaya produksi berkesinambungan dan tidak punah, dia juga menggalakkan penanaman kembali kayu beringin yang selama menjadi bahan baku kain kulit kayu tradisional ini. (YUS)

Source: https://www.ewarta.co/ketua-ikat-prihatin-pengrajin-baju-adat-khas-toraja-kurang-di-lestarikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *